Insipirasi Sukses Pengusaha
Di jaman yang sudah semakin canggih dan modern ini kita perlu menyikapi dan mensiasati bagaimana cara agar sukses dan mandiri dalam perekonomian. Kita semua tahu bahwa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kita perlu mendapatkan penghasilan yang cukup bahkan berlebih. Dibawah ini ada beberapa kisah pengusaha sukes di Indonesia yang merintis usahanya dari nol, semoga dapat memberikan pengetahuan, wawasan, dan pandangan bagaimana menjalankan bisnis atau usaha sendiri. Berikut beberapa kisah Pengusaha sukses di Indonesia :
1. Chairul Tanjung
Chairul Tanjung adalah seorang konglomerat sukses yang
mempunyai berbagai perusahaan besar dibawah naungan CT Corp. CT Corp sendiri
adalah sebuah holding company yang membawahi perusahaan-perusahaan besar
seperti PT Bank Mega Tbk, Mega Finance, Trans TV, Trans7, Trans Studio,
Transmart Carrefour, Detik.com, Metro Departement Store dan masih banyak lagi.
Chairul Tanjung sendiri termasuk sebagai salah satu orang
terkaya di Indonesia dimana berdasarkan Forbes, Chairul Tanjung mempunyai kekayaan
sekitar US$ 4,900,000,000 (empat miliar sembilan ratus juta dolar Amerika
Serikat). Kekayaannya yang besar tersebut tidak diperoleh Chairul Tanjung
dengan mudah, dia merintis bisnis dari nol sebelum mencapai kesuksesan
tersebut. Berikut kisah sukses Chairul Tanjung dalam memulai bisnis dari nol.
Chairul Tanjung lahir di Jakarta pada 16 Juni 1962. Ayahnya,
A.G Tanjung adalah seorang wartawan sekaligus penerbit surat kabar lokal yang
lumayan sukses. Tetapi karena tulisannya yang sering bersebrangan dengan orde
baru, surat kabar ayahnya tersebut dibredel dan terpaksa tutup. Akibatnya
ekonomi keluarga Chairul Tanjung pun berubah dari yang sebelumnya cukup berada
dan tinggal di rumah yang cukup besar terpaksa pindah ke kontrakan pinggir kota
yang sederhana.
Mulai Bisnis Sejak Kuliah
Keadaan ekonomi keluarga yang memburuk tidak membuat Ayah dan
Ibunya tidak memperhatikan pendidikan. Ditengah kesulitan ekonomi tersebut,
Chairul Tanjung lulus dari SMA Boedi Oetomo dan melanjutkan kuliah di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
Hidup dengan uang sangat terbatas pada masa kuliah tersebut
mendorong Chairul Tanjung untuk berpikir kreatif dan mencari uang sendiri.
Chairul Tanjung mulai berbisnis kecil-kecilan dengan menjual buku-buku di
kampusnya. Tidak puas dengan itu dia juga menerima order fotokopi untuk
buku-buku kuliah dan materi kuliah dengan bantuan kenalannya yang mempunyai
percetakan kecil-kecilan. Dia juga kemudian membuka usaha fotokopi di ruang
kosong dibawah tangga kampusnya, walaupun dia tidak memiliki uang untuk membeli
mesin fotokopi dia menemukan solusi melalui kemitraan dengan orang lain.
Serius Berbisnis
Lulus dari kuliah, Chairul Tanjung merasa bahwa dirinya lebih
terpanggil untuk berbisnis dibandingkan berpraktik menjadi dokter gigi. Perjalanan
bisnisnya setelah lulus kuliah tidaklah selalu mulus, percobaan pertamanya
berbisnis alat kedokteran berakhir dengan kebangkrutan.
Tidak patah semangat, Chairul Tanjung terjun ke bisnis
kontraktor dan mengerjakan berbagai proyek konstruksi termasuk salah satunya
pembuatan pabrik/workshop peralatan berbahan dasar rotan. Tapi ditengah jalan
proyek pembuatan pabrik tersebut mangkrak karena sang pemilik proyek mengalami
kesulitan keuangan. Mangkraknya proyek tersebut berpengaruh besar terhadap
kondisi keuangan dia, dan pada saat itu dia sudah kehabisan uang.
Namun, dibalik kegagalan tersebut rupanya tidak lama kemudian
muncul sebuah kesempatan yang tidak diduga-duga oleh Chairul Tanjung. Dengan
bermodalkan gedung pabrik yang mangkrak tersebut, Chairul Tanjung dan beberapa
temannya meminjam uang ke Bank Exim sebesar Rp 150 juta untuk membuat pabrik
sepatu.
Tetapi kemudian lagi-lagi nasib memberikan cobaan bagi
Chairul Tanjung. Setelah pabrik selesai dan sampel produksi dikirimkan kepada
beberapa calon pembeli, perusahaannya tidak mendapatkan satupun order. Ditengah
kesulitan tersebut mereka tidak menyerah dan tetap berjuang, sampai akhirnya
berkat usahanya tersebut mereka berhasil mendapatkan order dan dalam beberapa
tahun mereka sudah bisa melayani pasar ekspor. Tetapi kemudian disaat pabrik
sepatu itu tengah menikmati masa-masa suksesnya, Chairul Tanjung memiliki
perbedaan pandangan dalam masalah bisnis dengan pemilik lainnya dan diapun
memutuskan untuk keluar dan merintis bisnisnya sendiri.
Konglomerasi Chairul Tanjung
Keluar dari bisnis sepatu tersebut, Chairul Tanjung kemudian
mendirikan Para Group pada tahun 1987. Pada tahun 1996 Para Group mengambilalih
Bank Karman yang kemudian diganti namanya menjadi Bank Mega. Dibawah naungan
Para Group, Bank Mega bisa bertahan dari krisis moneter tahun 1998 dan pada
tahun 2001 Bank Mega melakukan penawaran publik perdana (IPO) dan menjadi
perusahaan terbuka.
Pada tahun yang sama anak usaha Para Group yaitu Trans TV
mulai mengudara di Indonesia, dan anak usahanya yang lain membuka Bandung
Supermall dilahan seluar 3 hektar. Tidak berhenti dengan memulai dua usaha baru
tersebut, pada tahun yang sama juga Para Group mengakuisisi Bank Tugu dan
menggantinya namanya menjadi Bank Mega Syariah.
Chairul Tanjung terus mengembangkan Para Group menjadi salah
satu konglomerasi yang mempunyai anak usaha mulai dari perbankan, asuransi,
retail, property, media dan masih banyak lagi. Pada tahun 2011, Para Group
berganti nama menjadi CT Corpora dan mengakusisi salah satu portal media online
terbesar yaitu Detik.com.
Dengan kisahnya tersebut tentu pantas jika Chairul Tanjung
disebutkan dalam daftar 5 kisah inspiratif pengusaha Indonesia sukses ini.
2. Ciputra
Ciputra pengusaha sukses, kisah inspiratif pengusaha
indonesia sukses, kisah sukses membangun bisnis dari nol, kisah inspiratif
pengusaha indonesia sukses
Nama Ciputra sebagai salah satu pengusaha properti tersukses
di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Pada tahun 2016, Forbes memperkirakan
kekayaan Ciputra mencapai US$ 1,600,000,000 (satu miliar enam ratus juta dolar
Amerika Serikat) dan menduduki urutan ke 23 di daftar orang terkaya
Indonesia.
Kesuksesan Ciputra tersebut tidaklah dia capai dengan mudah,
dia adalah salah satu contoh kisah inspiratif pengusaha Indonesia sukses yang
memulai benar-benar dari nol. Ciputra lahir dengan nama Tjie Tjin Hoan di
Parigi, Sulawesi Tengah. Pada usia 12 tahun, Ciputra menjadi yatim. Oleh
tentara pendudukan Jepang, ayahnya, Tjie Siem Poe, dituduh anti-Jepang,
ditangkap, dan meninggal dalam penjara itu, ibunyalah yang mengasuhnya penuh
kasih. Sepeninggal ayahnya tersebut Ciputra harus bangun pagi- pagi untuk
mengurus sapi piaraan, sebelum berangkat ke sekolah.
Kesulitan ekonomi dan tanjung jawab untuk turut membantu
keluarga tidak membuat semangat Ciputra dalam menuntut ilmu hilang. Walaupun
mengalami keterlambatan dengan kegigihan dan ketekunannya, Ciputra berhasil
masuk ke Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Arsitektur. Di masa akhir
kuliah tersebut Ciputra bersama kedua orang temannya mendirikan PT Daya Cipta
yang bergerak di bidang konsultasi arsitektur.
Lulus dari ITB, Ciputra kemudian bersama dengan rekannya
pindah ke Jakarta untuk mencari proyek yang lebih besar. Ciputra saat itu
membidik proyek-proyek dari pemerintah DKI Jakarta, salah satunya adalah
pembangunan pusat berbelanjaan di daerah Senen. Walaupun saat itu Ciputra tidak
memiliki modal berupa uang, dengan gigih Ciputra menemui gubernur DKI Jakarta
saat itu Dr. R Soemarno dan mengajakan Pemda DKI Jakarta mendirikan Perusahaan Patungan/Joint
Venture untuk meremajakan kota Jakarta.
Pada saat itu Dr. R Soemarno mempertanyakan, kamu modalnya
dari mana? Ciputra menjawab, saya sudah bicarakan dengan investor lain yang
mempunyai banyak uang. Dari situlah kemudian dengan kerjasama antara Ciputra
dan rekan-rekannya serta Pemda DKI Jakarta berdirilah PT Pembangunan Jaya. PT
Pembangunan Jaya dimulai dengan sederhana, kantornya menumpang di salah satu
ruangan kantor Pemda DKI Jakarta dengan karyawan berjumlah 5 orang.
Namun dengan kerja kerasnya mereka sukses mengerjakan
pembangunan pusat perbelanjaan di Senen. Dari kesuksesan tersebut, PT
Pembangunan Jaya menangani berbagai proyek-proyek besar seperti Taman Impian
Jaya Ancol yang menyulap kawasan rawa menjadi pusat rekreasi terbesar di Indonesia
dan kota mandiri Bintaro Jaya.
Kesuksesannya di PT Pembangunan Jaya tersebut di kembangkan
lebih jauh lagi oleh Ciputra dengan mendirikan dan menjadi pemegang saham dari
Metropolitan Group, Pondok Indah Group, Bumi Serpong Damai Group dan
Ciputra Group.
Walaupun sudah sukses, Ciputra tidak pernah melupakan asalnya
yang sederhana tersebut. Ciputra adalah salah satu pengusaha sukses Indonesia
yang gemar beramal dan melakukan kegiatan sosial dari berbagai Yayasan yang
didirikannya bersama dengan rekannya, seperti Yayasan Do Bosco, Yayasan
Prasetya Mulya, Yayasan Ir. Ciputra, Yayasan Tarumanegara dan lainnya. Dengan
awalnya yang sederhana tersebut dan kesuksesannya dimasa sekarang maka jelas
bahwa Ciputra layak masuk dalam daftar kisah inspiratif pengusaha sukses
Indonesia yang memulai bisnis dari nol ini.
3. Bob Sadino
Almarhum Bob Sadino adalah sosok pengusaha yang nyetrik
tetapi penuh inspirasi dengan”seragam” celana pendek dan kemeja lengan pendek
yang ujung lengannya tidak dijahit, dan kerap menyelipkan cangklong di
mulutnya. Ya, itulah sosok pengusaha ternama Bob Sadino, seorang entrepreneur
sukses yang merintis usahanya benar-benar dari bawah dan bukan berasal dari
keluarga wirausaha. Siapa sangka, pendiri dan pemilik tunggal Kem Chicks
(supermarket) ini pernah menjadi sopir taksi dan kuli bangunan dengan upah
harian Rp100.
Sewaktu orangtuanya meninggal, Bob yang kala itu berusia 19
tahun mewarisi seluruh harta keluarganya karena semua saudara kandungnya dapat
dianggap mapan. Bob kemudian menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling
dunia. Dalam perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap selama kurang
lebih sembilan tahun. Di sana, ia bekerja di Djakarta Lylod di kota Amsterdam,
Belanda. Di Eropa ini dia bertemu Soelami Soejoed yang kemudian menjadi
istrinya.
Bob Sadino sempat bekerja di Unilever namun, bosan
dengan hidup tanpa tantangan dia kemudian memutuskan keluar. Pada 1967, Bob dan
keluarga kembali ke Indonesia. Kala itu dia membawa serta dua mobil Mercedes
miliknya. Satu mobil dijual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta
Selatan. Setelah beberapa lama tinggal dan hidup di Indonesia, Bob memutuskan
untuk keluar dari pekerjaannya. Satu mobil Mercedes yang tersisa modal oleh Bob
menjalani profesi sebagai supir taksi gelap. Tetapi, kecelakaan membuatnya
tidak berdaya. Mobilnya hancur tanpa bisa diperbaiki.
Setelah itu Bob beralih pekerjaan menjadi kuli bangunan.
Gajinya ketika itu hanya Rp100. Ia pun sempat mengalami depresi akibat tekanan
hidup yang dialaminya. Bob merasakan bagaimana pahitnya menghadapi hidup tanpa
memiliki uang. Untuk membeli beras saja dia kesulitan. Karena itu, dia memilih
untuk tidak merokok. Jika dia membeli rokok, besok keluarganya tidak akan mampu
membeli beras. “Kalau kamu masih merokok, malam ini besok kita tidak bisa
membeli beras,” ujar istrinya saat itu.
Kondisi tersebut ternyata diketahui teman-temannya di Eropa.
Mereka prihatin. Bagaimana Bob yang dulu hidup mapan dalam menikmati hidup
harus terpuruk dalam kemiskinan. Keprihatinan juga datang dari saudara-saudaranya.
Mereka menawarkan berbagai bantuan agar Bob bisa keluar dari keadaan tersebut.
Namun, Bob menolaknya.
Bob Sadino pun sempat depresi, tetapi dia belum menyerah.
Baginya, menyerah berarti sebuah kegagalan. Jalan terang mulai terbuka ketika
seorang teman menyarankan Bob memelihara dan berbisnis telur ayam negeri untuk
menghilangkan streess dan melawan depresinya. Pada awal berjualan, Bob bersama
istrinya hanya menjual telur beberapa kilogram. Akhirnya dia tertarik
mengembangkan usaha peternakan ayam. Ketika itu, di Indonesia, ayam kampung
masih mendominasi pasar. Bob-lah yang pertama kali memperkenalkan ayam negeri
beserta telurnya ke Indonesia. Bob menjual telur-telurnya dari pintu ke pintu.
Padahal saat itu telur ayam negeri belum populer di Indonesia sehingga barang
dagangannya tersebut hanya dibeli ekspatriat-ekspatriat.
Ketika bisnis telur ayam terus berkembang Bob melanjutkan
usahanya dengan berjualan daging ayam. Kini Bob mempunyai PT Kem Foods (pabrik
sosis dan daging). Bob memiliki usaha agrobisnis dengan sistem hidroponik di
bawah PT Kem Farms. Pergaulan Bob dengan ekspatriat rupanya menjadi salah satu
kunci sukses. Ekspatriat merupakan salah satu konsumen inti dari
supermarketnya, Kem Chick. “Kalau saja saya terima bantuan kakak-kakak saya
waktu itu, mungkin saya tidak bisa bicara seperti ini kepada Anda. Mungkin saja
Kemstick tidak akan pernah ada,” ujar Bob. Pengalaman hidup Bob yang panjang
dan berliku menjadikan dirinya sebagai salah satu ikon entrepreneur Indonesia.
Kemauan keras, tidak takut risiko, dan berani menjadi miskin merupakan hal-hal
yang tidak dipisahkan dari resepnya dalam menjalani tantangan hidup. Menjadi
seorang entrepreneur menurutnya harus bersentuhan langsung dengan realitas,
tidak hanya berteori.
4. Mohammad Baedowy
Mohammad Baedowy adalah seorang pengusaha limbah plastik yang
sukses meraih milyaran rupiah pertahun dari bisnis yang bagi kebanyakan orang
dipandang sebelah mata. Diluar dari keberhasilan yang diukur dari besarnya
pundi-pundi rupiah yang dihasilkan, Baedowy juga adalah contoh sosok pengusaha
yang mendapatkan banyak penghargaan dari hasil kerjanya. Baedowy adalah
penerima penghargaan pemuda pelopor tingkat nasional 2006, tokoh pengusaha muda
terbaik pilihan majalah Tempo, Soegeng Sarjadi Awards on Good Governance,
piagam penghargaan Kalpataru 2010, dan juara 1 wirausaha terbaik Indonesia
versi Dji Sam Soe Awards.
Kesuksesannya tersebut tidak diraih dengan mudah oleh
Baedowy. Dirinya harus berjuang dalam mencapai kesuksesan tersebut, kisahnya
dalam merintis bisnis adalah salah satu contoh kisah inspiratif pengusaha
Indonesia yang sukses membangun bisnis dari nol. Sebelum memulai bisnis,
Baedowy sebenarnya mempunyai pekerjaan yang mapan dan cukup mentereng. Dirinya
adalah seorang auditor di Royal Bank of Scotland dan berkantor dikawasan elite
Jakarta.
Walaupun mempunyai pekerjaan yang cukup mapan tersebut,
Baedowy mempunyai tekad untuk berwirausaha yang lebih kuat sehingga dia hanya
bertahan 3 tahun bekerja di Royal Bank of Scotland sebelum keluar. Setelah
tidak lagi menjadi seorang pegawai, Baedowy mencoba berbisnis ternak jangkrik
dengan merombak salah satu kamar dirumahnya. Namun sayang pada percobaan
pertamanya tersebut ternak jangkriknya bukannya bertambah tetapi justru semakin
susut dan menemui kegagalan.
Bingung mencari bisnis yang cocok, pada suatu hari Baedowy
bertemu dengan seorang pengusaha yang cukup sukses. Walaupun pengusaha tersebut
hanya lulusan SD dia bisa mempunyai rumah, tempat usaha, serta dua buah mobil.
Setelah mengetahui bahwa pengusaha tersebut melakoni bisnis sampah, Baedowy
merasa tertarik dan belajar dari pengusaha tersebut. Pengusaha tersebut
menjelaskan bahwa bisnis sampah berbeda dengan bisnis makanan yang punya risiko
basi atau bisnis ternak yang mempunyai risiko mati, bisnis sampah tidak punya
risiko tersebut yang dibutuhkan adalah kerja keras dan semangat.
Setelah belajar proses bisnis dari pengusaha tersebut,
Baedowy memberanikan keluar untuk memulai usaha penggilingan sampah plastiknya
sendiri. Dengan menyewa sebuah lahan untuk tempat pengolahan diapun
memberanikan diri membeli mesin pencacah plastik bekas. Tetapi jalannya
tidaklah mulus, mesin yang dibelinya tersebut hanya tahan sebentar saja dan
kemudian rusak. Penjual mesin tersebut tidak bisa membetulkannya dan pengempul
lain tidak mau mengajarkan bagaimana cara memperbaiki mesin tersebut. Baedowy
memutuskan untuk mencoba membetulkan mesin itu sendiri selama setahun.
Setahun setelah memulai bisnis sampah tersebut, Baedowy
mengalami kesulitan keuangan dan hampir bangkrut. Masalah mesin pencacahnya
yang sering ngadat tersebut membuatnya sering tidak dapat berproduksi dan rugi.
Dia pun terpaksa mengirim pulang istri dan 2 anaknya ke kampung halamannya
untuk menghemat pengeluaran. Kehabisan uang dan diminta oleh mertua untuk
berhenti saja membuat Baedowy sempat berusaha menjual pabriknya. Selama
ditawarkan, tak ada yang mau membeli pabrik Baedowy. Baedowy juga sudah
berancang-ancang untuk melamar pekerjaan.
Pada saat uangnya semakin tipis itu, Baedowy yang kebetulan
aktif di sebuah pesantren di Bekasi Timur didatangi seorang kiai yang meminta
bantuan dana karena harus ada peletakan batu pertama pembangunan pesantren dan
akan dihadiri wali kota. “Saya tahu mereka butuh banget uang untuk membeli
semen atau batu. Akhirnya saya kasihkan sisa uang yang ada, walaupun tidak
semua,” ujarnya.
Namun, akhirnya dia menyadari bahwa efek sedekah itu luar
biasa. Dia lantas meneruskan bisnis itu dengan modal mobil pick-up. Baedowy
kembali belajar kepada pengepul besar. Tidak lama kemudian pun, Baedowy yang
merupakan sarjana ekonomi dan tidak mempunyai berbekal ilmu teknik ini akhirnya
berhasil memperbaiki mesin pencacah plastiknya dengan membuat desainnya
sendiri.
Kini Baedowy bukan sekadar menjadi penadah, tetapi juga
pembuat mesin dan menjualnya kepada mitra. Mekanismenya mirip franchise. Sebab,
selain diberi pelatihan setelah membeli mesin darinya, hasil penggilingan mitra
bisnis juga ditampung.
Seakan tak ingin sukses sendirian, ia mengakomodasi
permintaan masyarakat yang juga ingin sukses seperti dirinya. Jaringan mitra
kerja yang ia bentuk sudah menyebar dari Aceh hingga Papua.
Kepada mitra, peraih Soegeng Sarjadi Award on Good Governance
2010 ini menjual tiga jenis mesin penggiling. Harga tiap mesin berkisar Rp33
juta hingga Rp47 juta. Mitra Baedowy saat ini sudah lebih dari 100. Mereka
tersebar di seluruh wilayah di Indonesia, sampai ke Aceh. Bijih plastik hasil
olahannya diekspor, terutama ke Tiongkok.
5. Elang Gumilang
Elang Gumilang adalah seorang pengusaha properti kelahiran
Bogor 6 April 1985 (31 tahun) yang kisah hidupnya merupakan contoh dari kisah
inspiratif pengusaha Indonesia sukses membangun bisnis dari nol. Elang Gumilang
telah menjadi seorang pengusaha sukses dari usia sekolah, saat duduk di bangku
SMA kelas 3 dirinya mempunyai target untuk menghasilkan 10 juta rupiah untuk
membiayai sendiri kuliahnya. Dengan bekal semangat tersebut, Elang mulai
menjajakan donat ke sekolah-sekolah dan meraih keuntungan yang lumayan dari
usaha tersebut. Namun, kedua orang tuanya kemudian mengetahuinya dan memaksanya
untuk berhenti berjualan donat karena UN yang sudah dekat.
Lulus dari UN dan tamat SMA, Elang berhasil masuk ke Fakultas
Ekonomi IPB tanpa tes. Memasuki kuliah semangat wirausaha Elang muncul lagi
dengan bermodal uang sejuta ia kembali berniat untuk bisnis. Awalnya ia
berjualan sepatu dan mampu menangguk untung 3 juta, kemudian berganti menyuplai
lampu neon fakultas. Bermodal surat dari kampus, ia melobi perusahaan lampu
Philips untuk mensuplai lampu neon di kampusnya. “Alhamdulillah untuk setiap
pembelian saya untung 15 juta rupiah,” ucapnya bangga. Namun bisnis lampu
perputarannya uangnya sangat lambat, Elang kemudian beralih ke bisnis minyak
goreng yang mempunyai perputaran cepat.
Bisnis minyak goreng yang ditekuninya memang mempunyai
perputaran cepat namun menggunakan tenaga dan waktu yang tidak sedikit sehingga
mengganggu kuliah. Akhirnya Elang berhenti dari bisnis minyak goreng. Ia
kemudian memikirkan bisnis yang tak menggunakan otot. Ia bertukar pikiran
dengan dosen dan beberapa pengusaha lokal. Alhasil tercetuslah bisnis lembaga
kursus bahasa Inggris di kampusnya. Elang menggunakan tenaga pengajar langsung
dari luar negeri sehingga kampus mempercayakan lembaga milik Elang tersebut
sebagai mitra. Karena bisnis kursus ini tak menggunakan otot, Elang kemudian
menggunakan waktu luangnya untuk menjadi pemasar perumahan.
Dengan keberhasilan bisnis-bisnis sebelumnya tersebut, Elang
sudah mempunyai hidup yang berkecukupan sebelum terjun ke bisnis
properti. Dia sudah punya mobil dan rumah sendiri padahal masih kuliah
semester 6 tetapi Elang merasa ada yang kurang. Setelah melewati masa pencarian
jawaban tersebut, Elang Gumilang pun terjun ke bisnis properti yang fokus
kepada masyarakat berpenghasilan rendah seperti pedagang, buruh, dan masyarakat
yang tidak mempunyai akses perbankan.
Modal pertamanya sebesar Rp 340 juta. Hasil meminjam dari
kerabat, teman dan dosen. Dengan uang sejumlah itu, Elang bisa membangun hunian
tempat berlindung para pedagang, rekan mahasiswa maupun masyarakat lain yang
tak memiliki akses perbankan. Harga rumah yang dijualnya saat itu, sekitar Rp
22 juta-Rp 40 juta per unit. Uang muka yang dikenakan hanya Rp 1,2 juta dengan
cicilan per bulan sekitar Rp 89 ribu. Jumlah nilai yang saat ini tak ada
artinya. Di saat pengembang lain berjibaku meraup marjin keuntungan maksimal,
Elang justru berlaku sebaliknya.
Sukses penjualan Gemilang Property Griya Salak Endah I
menyisakan kisah serupa pada sejumlah portofolio berikutnya. Hingga enam tahun
usia bisnisnya di sektor properti, Elang telah mengembangkan tiga belas (13)
perumahan. Di antaranya Gemilang Property Griya Salak Endah I-III, Gemilang
Property Griya PGRI Ciampea Endah, Gemilang Property Citayam, Gemilang Property
Cilebut, Gemilang Property Lido dan yang teranyar di kawasan Cifor, Bogor
Barat. Kisaran harga mulai dari Rp 88 juta-Rp 1 miliar. Dari rentang harga ini
dapat diambil kesimpulan bahwa semua kelas memberikan kesempatan kepadanya
untuk berkembang.
Saat ini Elang Gumilang telah mempunyai bisnis dengan omzet
sebesar Rp55-56 triliun dan meraih berbagai penghargaan yang bergengsi. Elang
Group yang fokus kepada properti untuk masyarakat berpenghasilan rendah pun
telah melebarkan sayap usahanya ke bisnis properti komersial. Dari kisah
hidupnya tersebut tidak berlebihan jika Elang Gumilang masuk dalam daftar kisah
inspiratif pengusaha Indonesia sukses membangun bisnis dari nol.
Semoga informasi yang saya bagikan dapat bermanfaat untuk para pembaca dan kalangan masyarakat umum. Terima kasih sudah mengunjungi blog saya ^-^
Comments
Post a Comment